Adat diisi, lembaga dituang
Melakukan sesuatu menurut adat kebiasaan
Adat dipakai baru, pusaka dipakai usang
Ilmu akan berguna selama-lamanya sedangkan harta duniawi hanya akan musnah dimakan waktu
Tahun ini merupakan tahun ke 5 menjalankan puasa di daerah perantauan. Bulan yang penuh hikmh ini seharusnya bisa di laksanakan di rumah namun karena suatu hal akhirnya masih tertahan di sini. Menyambut datangnya bulan puasa orang-orang di daerah sini masih setia melaksanakan adat atau bisa juga disebut ritual yang dimulai satu bulan sebelumnya. Bulan yang dipakai adalah bulan jawa jadi satu bulan sebelum bulan poso/puasa/ramadhan adalah bulan ruwah
Kata ruwah disadur dari kata Arab yaitu Arwah yang berarti jiwa orang yang sudah meninggal. Orang jawa lebih cenderung mengkaitkannya dengan Roh, sehingga dipercaya menjadi waktu yang tepat mengunjungi makam para pendahulu atau keluarga yang telah pergi menghadap Tuhan terlebih dahulu. Kegiatan mengunjugi makam tersebut disebut dengan Nyadran (berasal dari kata Sraddha). Kegiatan nyadran dilakukan dengan membersihkan makam dan menabur bunga.
Ada yang berpendapat bahwa Upacara Sraddha dilaksanakan pada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan Upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa Islami yang kemudian diadakan tiap bulan Ruwah.
Dilihat dari sudut pandang Islam, terdapat 2 pendapat berbeda mengenai tradisi tersebut. Pendapat pertama tidak sutuju dengan adanya tradisi tersebut, dan menyebutnya dengan bid’ah (yang berarti kegiatan tersebut tidak ada pada zaman rasul atau tidak dilakukan oleh rasul). Selain dari pada itu kegiatan tersebut dianggap tidak penting dan hanya melanjutkan tradisi orang hindu atau budha yang pada zaman dahulu bertujuan untuk dipersembahkan kepada roh leluhur. Dan dikatakan sebagai kegiatan musrik atau menduakan Allah.
Pendapat yang lain menyatakan bahwa segala perbuatan bergantung pada niatnya. Tradisi-tradisi dahulu di adopsi sebagai salah satu budaya Jawa. Budaya yang membawa tujuan yang baik seperti Perwujudan rasa syukur atas nikmat Tuhan dan sarana mempererat rasa persaudaraan dalam masyarakat. Dan meyakini kalau hal tersebut bebas dari kegiatan kemusrikan dan bukanlah hal yang berdosa.
Pada tradisi tersebut ada beberapa makanan yang dianggap wajib ada, mungkin sekarang sedikit yang mengerti maksud dari makanan tersebut dan hanya melaksanakanya berdasarkan pengamatan kegiatan terdahulu tanpa mau maknanya. Makanan-makanan tersebut antara lain :
Kolak
Kolak mengandung maksud pada kata kholaqo yang memiliki arti ‘mencipta’. Arti kholaqo dari sebuah kata kholiq atau khaliq. Yang dapat diartikan sebagai mengucapkan doa agar bisa semakin mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Apem
Yang tak asing lagi yakni apem. Apem berasal dari kata afwam atau afuan yang berarti permintaan maaf. Kita sebagai manusia diharapkan selalu bisa memberi maaf atau memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain.
Ketan
Makanan berwujud ketan berasal dari kata khotan dari bahasa Arab yang memiliki arti kesalahan. Khotan bisa menjadi ketan karena orang-orang Jawa yang sering kali merubah sebutan nama suatu hal agar mudah dalam pengucapan maupun dalam mengingatnya. Khotan bermakna bahwa dari kesalahan kita sebagai manusia harus dingat kemudian dikoreksi agar tidak diulangi kembali
Sehingga bila di ringkas makna dari ketiga makanan tersebut adalah memanjatkan doa kepada Allah SWT memohonkan ampunan atas segala kesalahan-kesalahan yang sudah pernah dilakukan.
Sumber gambar : google